Masih ingat dalam ingatan kami ketika musibah tanggal 17 Desember 2019 terjadi. Ya, atap kelas kami ambruk. Kelas kami berada di lantai dua. Begitu dahsyat curah hujan di ibukota sehingga kampus kami menjadi salah satu yang terkena dampaknya. Air-air masuk ke dalam maktabah (مكتبة : perpustakaan) kami. Hingga kini kondisi masih terkunci. Menurut informasi yang aku dapatkan, kitab-kitab kami basah. Jadwal kami kembali masuk ke semester baru tahun ini diundur hingga tanggal 13 Januari 2020. Begitulah kondisi hari pertama kami masuk kembali ke kampus setelah liburan.
Pemandangan hari ini berbeda dari semester-semester sebelumnya, kami harus menata kelas kami, mengangkat kursi, menyapu, mengepel, dan membereskan kelas kami. Tidak mengandalkan petugas kebersihan kampus namun semua mahasiswi ikut serta bejibaku membereskan kelas-kelas karena baru tadi malam kelas kami selesai dari proses renovasi menurut pernyataan salah satu dosen kami.
Ketika tanganku sedang mengangkat kursi satu per satu, tanpa sadar aku berbicara kepada diriku sendiri tentang kondisi ini. Bukan mengeluh. Malah bersyukur. Entah mengapa, di mataku pemandangan pagi ini begitu indah. Aku membayangkan anak-anak di Palestina tidak punya gedung sekolah, sedangkan aku masih memilikinya. Aku membayangkan anak-anak di pedalaman Indonesia yang mungkin memiliki gedung sekolah yang jauh lebih buruk dari kampus kami. Hah, begitulah hakikat syukur. Kita hanya cukup menatap ke bawah, bukan ke atas.
Aku pun melihat teman-teman sekelasku dengan penuh suka cita. Sama halnya seperti anak-anak di sekolah dasar baru masuk sekolah di hari pertama. Begitulah mereka yang membereskan kelas dengan penuh bahagia. Subhaanallah, tak ada keluh kesah yang terdengar di telingaku. Yang aku dengar hanyalah ucapan seperti….”Sini aku aja yang ngepel” ....“Udah aku aja yang peras pelnya” ....“Yuk-yuk ambil sapu”. Dari bibir-bibir mereka tidak ada satu katapun untuk berkeluh kesah dan apalagi hal-hal yang sia-sia. Begitulah hidup, mereka betul-betul mengajarkanku untuk fokus terhadap solusi bukan masalah.
Alhamdulillah. Sudah sejauh ini kami melangkah. Bagiku, inilah prestasi yang sesungguhnya. Tak terasa kaki ini sudah hampir 5 tahun melangkah ke kampus ini. Wahai saudaraku, siapapun yang membaca tulisanku ini. Kalian tidak akan pernah tahu bahwa kampus kami adalah kampus terbaik di dunia. Tentu ukurannya bukan ukuran mata manusia yang terbatas penglihatannya.
Bayangkan saja diantara kampus-kampus ternama yang ada di Indonesia atau bahkan di dunia, kampus kami tidak ada koneksi wi-fi untuk mahasiswa, bangunannya tidak luas dan hanya dua tingkat, parkiran yang sempit, fasilitas yang tidak selengkap kampus-kampus lainnya. Kami hanya punya maktabah yang di dalamnya kami sering gunakan untuk sholat karena kami tidak punya mushola dan di dalamnya terdapat beberapa komputer tanpa koneksi internet. Selebihnya aktifitas seperti seminar, sidang skripsi, kuliah umum atau kegiatan-kegiatan lainnya kami gunakan kelas kami di pojok lantai dua yang bisa digabung karena tiga kelas dipisahkan dengan sekat-sekat pintu kayu, itulah aula kampus kami. Bahkan kampus kami digunakan oleh kampus lain setelah zuhur hingga sore hari. Ruang kelasnya tidak banyak sehingga mahasiwa belajar di malam hari dan mahasiswi belajar di pagi hari. Sekarang aku baru mengerti mengapa dulu ada seseorang yang pernah mengatakan kepadaku bahwa masuk ke kampus ini berarti aku akan belajar hidup dalam arti sesungguhnya.
By the way, dua hari yang lalu sebelum masuk kampus, aku menghadiri sebuah ceramah umum dengan judul “Menghidupkan Kembali Perguruan Tinggi Islam: Kunci Kebangkitan Umat Islam Indonesia” yang disampaikan oleh Dr. Adian Husaini. Beliau adalah seorang mantan wartawan. Aku sangat suka dengan tulisan-tulisan beliau, diawali karena dulu aku pernah membaca buku karangan beliau yang berjudul “Wajah Peradaban Barat”. Tidak akan aku ceritakan disini isi buku tersebut, yang jelas buku tersebut adalah sejarah tentang hegemoni kristen ke dominasi sekular-liberal. Menarik sekali, hingga tersadar mengapa baru usia setua ini aku mulai jatuh cinta dengan sejarah.
Dalam seminar tersebut tanpa aku sadari aku sedang nge-charge semangat untuk kembali ke kampus. Ya, ini adalah semester terakhirku di kampus tercinta. Kembali ke pembahasan seminar, ada beberapa pemikiran yang Dr. Adian Husaini sampaikan salah satunya pemikiran ulama yang lahir di Bogor, beliau yang membangun ISTAC di Malaysia mengatakan,
“The purpose for seeking knowledge in Islam is to inculcate goodness or justice in man as man and individual self. The aim of education in Islam is therefore to produce a good man…the fundamental element inherent in the Islamic concept of education is the inculcation of adab…” (Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas)
“Tujuan pendidikan tinggi dalam Islam adalah membentuk ‘manusia sempurna’ atau ‘manusia universal’…Seorang ulama muslim bukanlah seorang spesialis dalam salah satu bidang keilmuan, melainkan seorang yang universal dalam cara pandangnya dan memiliki otoritas dalam beberapa bidang keilmuan yang berkaitan.” (Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas)
Dan ada kata-kata lainnya yang saya catat yaitu,
“Producing a good man is more fundamental, because invariably he will be a good citizen. But it is not so the other way around. A good citizen may be a tyrant. The Nazis claimed in their heyday that they were good citizen of Germany and that what they did was right.”
Dalam perspektif Islam, mencetak individu yang baik adalah dengan pendidikan terbaik yaitu Islam maka individu tersebut akan memiliki akhlaq yang baik. Dahulu kala, para ulama belajar adab lebih lama dan lebih dulu sebelum mereka menuntut ilmu. Sebab itulah pantas mereka dijuluki sebagai generasi terbaik. Kondisi pendidikan saat ini sangat jauh dari tujuan-tujuan membentuk peradaban yang tinggi karena tersingkirnya proses ta’dib dalam pendidikan tinggi. Dan itu berawal dari kekacauan ilmu pengetahuan (confusion of knowledge). Padahal, makna awal universitas (Latin: universitatem) berasal dari istilah kuliyyah yang bertujuan membentuk manusia yang sempurna atau al-insan al-kulliy yang akan menjadi para pemimpin sejati, bukan pemimpin palsu.
Dan ada pula beberapa catatan penting yang Dr. Adian Husaini sampaikan, kita yakin bahwa Islam punya konsep pendidikan tinggi terbaik. Konsep itu telah diterapkan sejak Nabi Muhammad SAW dan sudah terbukti dalam sejarah mampu melahirkan generasi-generasi gemilang. Anehnya, masih banyak orang Muslim percaya kepada aneka jenis “ranking kampus” yang sama sekali tidak memasukkan nilai-nilai iman, taqwa, dan akhlaq mulia dalam kriteria perankingan. Lebih aneh lagi, banyak pengelola dan dosen perguruan tinggi Islam percaya bahwa kampus-kampus sekuler adalah lebih tinggi derajatnya daripada kampusnya sendiri.
Miskonsepsi inilah yang sudah menghancurkan pemikiran-pemikiran Muslim saat ini pada umumnya. Sehingga tanpa sadar Muslim nowadays tidak bangga dengan Islam itu sendiri. Anyways, kembali kepada ceritaku hari ini. Beberapa hari yang lalu hingga hari ini aku memaksa diri untuk menulis hikmah-hikmah yang berserakan di kampus tercinta. Bahwa sejatinya, tidak perlu bangunan yang mewah dengan fasilitas lengkap untuk mencari ilmu.
Terlalu banyak keberkahan yang telah Allah limpahkan kepada guru-guru alias dosen-dosen kami yang telah konsisten serta istiqomah menjadi pengajar di kampus kami. Mereka adalah orang-orang yang tidak mencari kenikmatan dunia. Kalau mencari dunia, bisa dipastikan mereka sudah berhenti mengajar sejak dari awal sebab gaji dosen di kampus kami pastinya tidak sebanyak kampus-kampus ternama lainnya. Begitulah hidup, tidak selamanya eksistensi menang. Substansi dari nilai-nilai yang diajarkan kepada kami itulah yang menang di hati -hati kami.
Terlalu banyak keberkahan yang telah Allah limpahkan kepada guru-guru alias dosen-dosen kami yang telah konsisten serta istiqomah menjadi pengajar di kampus kami. Mereka adalah orang-orang yang tidak mencari kenikmatan dunia. Kalau mencari dunia, bisa dipastikan mereka sudah berhenti mengajar sejak dari awal sebab gaji dosen di kampus kami pastinya tidak sebanyak kampus-kampus ternama lainnya. Begitulah hidup, tidak selamanya eksistensi menang. Substansi dari nilai-nilai yang diajarkan kepada kami itulah yang menang di hati -hati kami.
Semoga kami mampu mengambil hikmah dari setiap peristiwa di dalam hidup kami. Untuk para sahabat-sahabatku di kampus terutama sahabat-sahabat seperjuanganku di kelas, terima kasih telah mengajarkan arti sahabat yang sesungguhnya. Terima kasih selalu menanamkan nilai-nilai bahwa kita harus fokus dengan permasalahan yang jauh lebih besar, bukan masalah pribadi yang sering manusia normal besar-besarkan. Terima kasih telah bersabar menjawab pertanyaanku setiap kali aku bertanya kepada kalian arti makna sebuah kata dalam bahasa Arab. Ah, rasanya tidak mau hanya sekedar berkumpul di dunia, aku ingin berkumpul dengan orang-orang shalih seperti kalian di Surga Allah.
Aku cinta kampusku,
Fatmah Ayudhia Amani
13 Januari 2020









