Alhamdulillah Jum'at lalu tanggal 14 Februari 2025 sampai hari Ahad, 16 Februari 2025 aku mengikuti Tour d'Blora bersama keluarga besar Imam Chourmain. Perjalanan kali ini adalah napak tilas sekaligus melaksanakan tradisi orang Jawa yaitu Nyadran. Rasanya ingin sekali aku menulis lagi, karena menurutku teknologi kecerdasan artifisial (AI) atau chat GPT mulai mengabaikan kita dari aktifitas menulis.
Sejujurnya perjalanan ke Blora kali ini sangat mengesankan bagiku, aku jadi mengerti banyak hal tentang asal-usul keluarga almarhum Papa. Semasa hidupnya Papa memang tidak banyak mengisahkan kepada anak-anaknya tentang latar belakang keluarga almarhum Eyang Kung, namun yang Papa lakukan adalah senantiasa mengajak kami ikut serta dalam tradisi silaturahim keluarga besar Imam Chourmain walaupun kami tidak banyak mengenal anggota keluarga besar kami. Lama kelamaan kebiasaan tersebut seolah-olah tertanam dalam kehidupan kami sebagai anak-anak Papa. Tradisi silaturahim adalah hal yang paling Papa sukai dan anak-anaknya tidak merasa dipaksa harus ikut setiap kali kami mengunjungi sanak saudara dari pihak keluarga Papa. Semoga Allah merahmati Papa.
Tiga hari yang penuh kisah menarik dan sekaligus mengharukan bagiku, sebab aku jadi mengerti mengapa Eyang Kung (PROF. M. Abdul Syukur Imam Chourmain) menjadikan aktifitas membaca dan menulis sebagai kebiasaan dalam kesehariannya. Bahkan Eyang Kung juga menulis sejarah kehidupan pribadinya lewat tulisan. Aku masih ingat setiap kali kami berkunjung ke rumah Eyang Kung di Cilandak waktu masih hidup, pastinya Eyang Kung sedang duduk di kursi goyang sambil memegang loop (kaca pembesar) dan buku di tangannya. Eyang Kung memang sangat hobi membaca masya Allah. Semoga Allah merahmati Eyang Kung.
Om Boyke (abang pertama Papa) akhirnya menuliskan kembali dengan sangat terstruktur rapih sejarah keluarga besar Imam Chourmain, bahkan beliau membuat silsilah keluarga Imam Chourmain setelah sebelumnya Eyang Kung menuliskannya saat masih hidup.
Terima kasih ya Allah. Engkau selalu membantuku dengan memperjalankanku ke suatu tempat yang membuatku mengerti bagaimana harus mencintai Papa dan keluarga besarnya.
Berikut terlampir kisah hubungan Pocut Meurah Intan, Aboe Oemar Imam Chourmain, dan Haji Abdul Kahar Imam Chourmain yang ditulis oleh Eyangku PROF. M. Abdul Syukur Imam Chourmain pada hari Minggu, 17 Maret 2013, kemudian ditulis kembali oleh Om Boyke Pandji Timur Imam Chourmain (anak pertama Eyang Kung alias abangnya Papaku) 👇
Sejarah Singkat Hubungan Pocut Meurah Intan, Aboe Oemar Imam Chourmain, dan Haji Abdul Kahar Imam Chourmain
Menjelang pernyataan Belanda tentang berakhirnya Perang Aceh tahun 1905, Pocut Meurah Intan pada tahun 1902 dibuang Belanda mula-mula ke Semarang dan kemudian dipindahkan ke Blora. Saat di Semarang anak Pocut Meurah Intan yang paling kecil yang diberi nama Teuku Abdoel Azis meninggal. Saat lokasi pembuangan dipindahkan ke kota Blora, Pocut Meurah Intan membawa serta anaknya yang pertama Tengku Nurdin dan seorang pengawal asal Aceh pemuda yang bernama Wakimut. Wakimut nikah dengan perempuan Jawa dan menetap di Blora sampai akhir hayatnya.
1. Riwayat Pocut Meurah Intan di Blora
Saat dipindahkan ke Kota Blora, Bupati Blora saat itu dijabat oleh Cakraningrat menugaskan kakek buyut kami yang bernama Haji Tejasubchi dan menantunya bernama Aboe Soedjak Imam Chourmain selaku asisten Penghulu Blora, untuk mengurus rumah kediaman dan membantu kehidupan Pocut Meurah Intan.
Terjadilah hubungan persaudaraan yang akrab antara keluarga Haji Tejasubchi dan keluarga Aboe Soejak Imam Chourmain di satu pihak dengan keluarga Pocut Meurah Intan di lain pihak. Kesemuanya tinggal dan hidup di daerah Kelurahan Kauman. Kauman adalah desa di tengah-tengah kota Blora dan menjadi lokasi Masjid Agung Blora hingga saat ini. Kauman berasal dari kosa kata Arab yang berarti tempat Muslim berkaum-kaum (masjid jami).
Pocut Meurah Intan meninggal selaku perempuan pejuang Aceh di Blora tahun 1937 dan di makamkan di makam keluarga Tegalsari, Blora. Masa pembuangan di Blora yang dialami Pocut Meurah Intan adalah 30 tahun. Makam Aboe Oemar (saat kecilnya menjadi anak asuh Pocut Meurah Intan) yang semula dimakamkan Taman Pahlawan Blora 1948, tahun 1951 kami pindahkan juga ke makam Tegalsari Blora, berdekatan dengan makam Pocut Meurah Intan.
2. Anak Asuh Pocut Meurah Intan
Tahun 1902 saat Pocut Meurah Intan tiba di Blora lahirlah ayah kami (putra Aboe Soedjak) yang diberi nama Aboe Oemar (dari perkawinan antara Aboe Soejak dan Siti Insiyah putri dari Haji Tejasubchi). Mengenang kehilangan dengan meninggalnya Teuku Abdoel Azis saat masih bayi, maka Pocut Meurah Intan mencurahkan perhatian dan kasih sayangnya pada bayi Aboe Oemar. Karena beribu pada Pocut Meurah Intan, sampai usia akil balik dan hingga saat meninggalnya (September 1948) Aboe Oemar merasa dirinya “manusia Aceh” dan selalu mempunyai “mind-set Aceh”.
Karier hidup dan jabatan Aboe Oemar (anak asuh Pocut Meurah Intan) berkembang pesat. Setelah lulus HIS masuk LandBauw School di Sukabumi dan Bogor dan Lulus sebagai arsitek kehutanan (bosh-arsitec). Kemudian dalam usia muda diangkat sebagai sinder di Cepu dan pemangku hutan di Kalimantan Timur, Samarinda. Kemudian (zaman penjajahan Jepang) menjabat sebagai kepala kehutanan se Jawa. Saat proklamasi kemerdekaan Aboe Oemar dipercaya selaku ketua Badan Keamanan Bogor, (menduduki Istana Bogor) dan tahun 1946 dipilih sebagai ketua Barisan Tani Islam Indonesia yang berafiliasi pada partai Masyumi. Pada tahun itu juga oleh partai Masyumi dengan Surat Keputusan Presiden Soekarno ditetapkan sebagai Anggota Badan Pekerja Komite Nasional Pusat (BP.KNIP). Saat pemberontakan PKI Madiun September 1948, selaku seorang pemberani yang membawa sifat keberanian Pocut Meurah Intan, Aboe Oemar meninggalkan Yogya dan menyusup ke daerah kekuasaan PKI di Purwodadi yang sudah dikuasai pemberontak PKI. Saat itulah ia ditangkap laskar PKI dan dibawa serta di bunuh PKI di Blora pada 10 Oktober 1948.
Bangunan tua berupa gorong-gorong dengan warga hitam, masih nampak berdiri kokoh, sepintas tidak ada yang istimewa dari bangunan yang sebenarnya untuk jembatan rel kereta api itu. Terdapat sumur/lubang buaya, ini merupakan tempat pembuangan mayat korban PKI 1948 yang terletak di dukuh Pohrendeng, Desa Maguwan, Kecamatan Tunjungan, Kabupaten Blora. Korban dari PKI ini yaitu Mr. Iskandar yang merupakan Presiden Landraad pada Pengadilan Negeri Blora sejak penjajahan yang diangkat menjadi Bupati Blora ketika Indonesia merdeka. Ketika menculik Mr. Iskandar tertangkap berikut pula dokter Susanto yang merawat Mr. Iskandar dan seorang Camat Margorojo Pati yang bernama Oetoro. Selain itu dua orang lagi dari Blora yaitu Gunandar dan Aboe Oemar. Selain mereka ada juga pejuang lainnya yang dibunuh saat PKI Madiun, diantaranya adalah Koloner Sunandar, Sumodarsono, Reksodiputro, Sudarman dan AKBP Agil Kusumodyo mereka dibunuh dilokasi yang berbeda. Sama seperti Mr. Iskandar, Aboe Oemar dan Gunandar, nama mereka juga diabadikan oleh Pemkab Blora, sebagai nama jalan di Kota Blora. Untuk mengenang mereka, kini nama mereka digunakan sebagai nama jalan di kota Blora, Jalan Mr Iskandar berada di jalan protokol mulai dari Alun-Alun hingga Kaliwangan, sedangkan Jalan Abu Umar berada di sebalah Barat Alun-Alun sampai Simpang Tiga Lapangan Bhayangkara, dan Jalan Gunandar berada di Sebelah Selatan Tugu Pancasila sampai SMP 2 Blora (Kedungjenar). Salah satu anak kandung Aboe Oemar yang bernama Abdoel Kahar lahir tahun 1926 (juga pernah di asuh oleh Pocut Meurah Intan), selama masa pendudukan Jepang masuk Peta dan saat proklamasi kemerdekaan masuk selaku pejuang.
Saat penyerbuan Belanda ke Yogya tahun 1949 diterbangkan dan diselundupkan oleh TNI untuk melanjutkan gerilya di Sumatra. Setelah berjalan menembus blokade Belanda di daerah Sumatera, Abdoel Kahar tiba di Aceh tepat saat pengakuan kemerdekaan oleh Belanda 1949. Pasca PRRI Permesta berakhir, dan setelah bertugas di KMK Medan, Abdoel Kahar selaku letnan kolonel TNI di tugaskan menjadi Komandan Dodik Iskandar Muda dan selanjutnya diangkat sebagai kepala staf mendampingi Jendral Ishak Juarsa dan Jendral Mohamad Yasin selaku Panglima Kodam Iskandar Muda di Banda Aceh. Pada tahun 1970 Abdoel Kahar ditunjuk selaku komandan Dodik Kodam Jayakarta di Jakarta. Pada tahun 1975 setelah menduduki jabatan Kepala Staf Garnisun Kodam Jaya dengan pangkat Brigadir Jendral, diangkat selaku wakil Gubernur DKI Jaya mendampingi Gubernur DKI saat itu Tjokropranolo. Pada masa jabatan sebagai wakil Gubernur DKI Jaya, yang lebih di kenal dengan nama Haji Abdoel Kahar Imam Chourmain (HAKI Chourmain) yang selalu menziarahi makam ayah kami (Aboe Oemar) di Blora, langsung juga menziarahi serta melakukan pemugaran terhadap makam Pocut Meurah Intan. Pada tangal 4 Juli 1995 Abdoel Kahar meninggal dunia dan karena menolak dimakamkan di Taman Pahlawan Kalibata, ia dimakamkan dengan upacara kemiliteran, di tanah miliknya di desa Gadog, Bogor.
3. Abu Umar Imam Chourmain (Awal Generasi Imam Chourmain)
Awal naskah obituari ini dimulai dari gernerasi pra Imam Chourmain yakni ayahnya yang berpengalaman memenuhi ibadah haji ke Mekah dan Madinah. Saat itulah jamaah di kota Mekah khususnya di Masjid al Charamain, meminta ayahnya Imam Chourmain untuk mengimami sholat Jum’at secara berjamaah di Masjid Al Charamain, sekitar tahun akhir abad ke 19 atau sekitar tahun 1897.
Saat kembali ke Indonesia, tepatnya ke kota kecamatan Ngawen, sebelah Barat kabupaten Blora arah ke Kabupaten Grobogan (Purwodadi), maka untuk memperingati peristiwa penunjukkannya oleh jamaah selaku Imam di Masjid Al–Charamain di Kota Mekah, saat anaknya lahir di Ngawen diberilah nama Imam Chourmain. Anak yang bernama Imam Chourmain dibesarkan dan dididik pendidikan agama Islam di desa, wilayah Timur yang bernama Semawur wilayah kecamatan Ngawen.
Desa Semawur inilah desa awal, tempat jalan setapak, yang melalui areal pesawahan ke arah sebuah bukit yang jauhnya sekitar satu kilometer dari Desa Semawur. Bukit inilah yang menjadi tempat pemakaman umum, dimana Imam Chourmain juga dimakamkan. Imam Chourmain kemudian menikah dan mendapatkan anak yang diberi nama Aboe Soedjak Imam Chourmain.
4. Awal Biografi Abu Umar Imam Chourmain
Dalam perjalanan hidupnya Aboe Soedjak dikarunia sepuluh orang anak yaitu : 1) Sri Indasah; meninggal setelah melahirkan seorang anak perempuan yang namanya Sulastri; 2) Ismoyowati; 3) Ismangun; 4) Aboe Bakar; 5) Aboe Oemar; 6) Samsudini; 7) Muh. Maksum; 8) Istariyati; 9) Suntariyati; 10) Sumartini. Ismangun meninggal saat usia menjelang jadi seorang pemuda.
Aboe Oemar lahir tanggal 6 Juni tahun 19O2 di Blora di rumah yang beralamat Jalan Pandji No. 5 yang berlokasi di sebelah Barat Gedung Tempat Kediaman dan Kantor Bupati Kabupaten Blora. Setelah menyelesaikan sekolah pada zaman Belanda yang disebut AMS, dengan adanya politik - etisch dari Deventer, memungkinkan Aboe Oemar melanjutkan sekolah di Landbouw - School di Sukabumi dan Bogor. Selama mukim di Sukabumi dan Bogor dan bersekolah di Landbow-school ia berkenalan dengan seorang janda cantik yang biasa di panggil Ibu Enden yang telah beranak lima kesemuanya perempuan di antaranya nama – nama yang masih kami ingat ialah Ikoh, Irot dan tiga nama lain yang penulis lupa namanya. Ibu Enden ini tinggal di Jalan Kiray Sukabumi, dan setelah kemerdekaan tinggal bersama anak perempuan yang bernama Ikoh dan suaminya yang bertempat tinggal di Ciumbuleuit di area Bandung Utara dimana penulis bersama Siti Insiyah Imam Chourmain pernah berkunjung di rumahnya. Namun saat itu Ibu Enden sudah meninggal dunia.
Aboe Oemar melanjutkan dan mendalami keIslaman di kedua kota Sukabumi dan Bogor. Setelah lulus dari Landabouw-sechool Aboe Oemar melakukan praktek selaku Sinder Kehutanan (sekarang dalam struktur organisasi Departemen Kehutanan di sebut Bagian Daerah Hutan).
Setelah lulus Landbauw-Sechool dan menjadi sinder di Pasar Sore Aboe Oemar menikah dengan Siti Mucharomah dan dikaruniai dua orang anak ialah Siti Insiyah Imam Chourmain (1923) dan Nanda, Abu Amar Imam Chourmain (1926). Sedangkan dari isterinya yang lain yang bernama Siti Djamilah, Aboe Oemar mendapatkan seorang anak yang lahir di Sulang (salah satu kota kecamatan di lingkungan Kabupaten Rembang) dan diberi nama Abdul Kahar Imam Chourmain.
Selanjutnya setelah lulus dari Landbauw - School Bogor, Aboe Omar menduduki jabatan sinder kehutanan antara lain di Pasar Sore, Cepu, kemudian berpindah-pindah ke beberapa tempat di Wonosari, Wirosari, Wirodadi, Purwodadi - Grobogan, Keradenan, Sulang (salah satu kecamatan Kabupaten Rembang). Segera setelah lulus Aboe Oemar diangkat dan dilantik sebagai Arsitek Kehutanan (Boss - Architec) semacam Sarjana Ilmu Kehutanan dan ditempatkan di Kalimantan Timur dengan lokasinya di kota Samarinda. Selama bertugas di Kalimantan Timur, Samarinda, Aboe Oemar membawa kedua istrinya yang berasal dari Bogor ialah Siti Rukiyah dan Siti Aminah (Memeh).
Saat tinggal di Bogor, dari Siti Rukiyah Aboe Oemar dikarunia anak yang diberi nama Allan Abdul Karim Imam Chourmain dan Baron Abdul Hamid Imam Chourmain. Sedangkan selama tinggal di Samarinda antara tahun 1932 hingga tahun 1940, dari isteri Siti Rukiyah lahirlah Abdul Gafar Imam Chourmain dipanggil Papang (1936) dan Mience Siti Aminah Mirah Inten Yuliana (1938). Sedangkan dari isteri keduanya Siti Aminah (Memeh) di Samarinda lahirlah Abdul Syukur Imam Chourmain (1936) dan Abdul Rahman Imam Chourmain (1938).
Menjelang Perang Dunia ke II Aboe Oemar di pindahkan ke Jawa dan ditempatkan di kota perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah ialah kota Prupuk daerah Slawi di karesidenan Purwokerto. Setelah setahun tinggal di Prupuk, selanjutnya Aboe Oemar dipindahkan ke Batavia sekarang Jakarta, tinggal di gang Adjidan yang sekarang menjadi Jalan Kramat II, Kelurahan Senen Jakarta. Aboe Oemar di Batavia, diperbantukan pada Gubernur Jendral Hindia Belanda yang bernama Van Mook. Selama tinggal dan bekerja di Jakarta, Aboe Oemar dibantu oleh sekretaris /asisten yang asli orang Belanda - yang berkantor di Paviliun dekat dengan rumah utamanya yang ditempati Aboe Oemar Imam Chourmain berikut kedua orang isterinya.
Menjelang kedatangan dan pendudukan Jepang, Aboe Oemar dan keluarganya pindah ke Bogor berikut keluarganya menyewa rumah Arab bernama Albawahab di Jalan Bioskop No.5 dan membeli tanah kebun dan kolam di dusun Cibogel arah ke Gunung Salak, atas petunjuk Siti Rukiyah yang juga mempunyai kerabat di Cibogel, yaitu nenek Bariah, merupakan saudara dekat dari ibunda Siti Rukiyah yang bernama Nenek Marsyah. Saat – saat bermukim di Cibogel, tahun 1942 ibu Siti Aminah (ibu Memeh) sekitar jam 10.00 malam melahirkan seorang anak perempuan yang dinamakan Siti Nurfalah. Menjelang kelahirannya Aboe Oemar jalan – jalan mengitari ruang dalam rumah sambil mengucapkan ayat Al Qur'an dan berdoa, sampai tiba saatnya Siti Nurfalah lahir.
5. Saat Pendudukan Jepang
Setelah pendudukan dan pemerintahan militer Jepang berkuasa di Indonesia tahun 1942 - 1945, dalam apa yang dinamakan oleh Jepang 'Perang Asia Timur Raya' dengan mengusir orang Belanda yang melarikan diri ke Australia. Saat pendudukan Jepang, Aboe Oemar di tugaskan selaku kepala kehutanan seluruh Jawa. Aboe Oemar berkantor di Malang, Sementara keluarganya tetap mukim di Bogor dan setiap tiga bulan Aboe Oemar melakukan kunjungan ke Bogor untuk menengok keluarganya yang tetap bermukim di Bogor.
Setelah bentrok dengan pemerintahan militer Jepang yang diawali karena Jepang memaksa rakyat Indonesia berpakaian dari karet yang banyak menimbulkan kematian pada rakyat terutama kaum perempuan. Sedangkan Aboe Oemar menganjurkan pakaian terbuat dari kulit kayu, karena dengan kulit kayu setelah diproses dapat menjadi bahan pakaian. Karena perbedaan kebijakan soal pemanfaatan kayu untuk sandang rakyat, di mana pemerintahan militer Jepang tetap ingin menggunakan kayu sebagai sarana memperkuat pasukannya di semua front melawan Amerika dan sekutunya, sedangkan Aboe Oemar tetap akan memanfaatkan kayu sebagai bahan sandang rakyat yang saat itu hidupnya memang compang camping karena ketiadaan bahan sandang bahkan juga bahan makanan dan barang–barang kebutuhan kosumsi lainnya, akhirnya Aboe Oemar marah dan melepaskan pekerjaanya bekerja sama bersama dengan pemerintahan militer Jepang dengan meninggalkan kota Malang kembali ke kota kediaman dan tanah pertaniannya di Bogor.
Jadi Aboe Oemar atas kemauan sendiri meninggalkan kota Malang karena tak setuju dengan kebijakan pemerintahan militer Jepang tentang sandang untuk rakyat. Saat itu semua tekstil diexploitasi dan diperuntukan bagi seragam tentara militer Jepang. Saat itu pihak Jepang dalam perangnya melawan Amerika dan Inggris serta sekutunya (India, Burma, Cina, Perancis di daerah jajahannya seluruh wilayah Vietnam, Laos, dan Kamboja). Selama perang itu pihak Jepang memonopoli semua bahan sandang dan pangan hanya untuk tentara pendudukan militer Jepang dalam perangnya melawan Amerika dan sekutunya. Dampaknya rakyat Indonesia mengalami kekurangan segala barang kebutuhan pangan, sandang, dan bangunan.
Selama bertengkar melawan Pemerintah Militer Jepang, Aboe Oemar yang saat itu berusia 43 tahun (1902 – 1945) kembali ke daerah tanah pertaniannya terutama rumah dan kebunnya di dusun Cibogel. Dari rumahnya di Jalan Bioskop No. 5 Bogor (sekarang disebut jalan Kapten-Oking) Aboe Oemar yang selalu mengajak Abdul Syukur Imam Chourmain berjalan kaki sekitar delapan kilometer ke rumah dan kebunnya di dusun Cibogel untuk mengisi waktu sambil berkebun serta bertemu dengan Nenek Bariah (peranakan Cina selaku saudara dekat ibu Siti Rukiyah yang bernama Marsyah) selaku penunggu rumah dan kebun di Cibogel. Nenek Bariah meninggal karena 'hongeroedeem' kurang gizi karena tak lagi pernah menemukan beras sebagai bahan makanan nasi kerena semua hasil padi rakyat setiap panen langsung di 'jabel' (istilah Jepang untuk perampasan paksa).
Saat ke Cibogel bersama Abdul Syukur, Aboe Oemar selalu berjalan kaki dengan selalu pakai kain sarung putih, untuk bertani dikebun dan melihat kolam ikan yang dikembangkan sejumlah jenis ikan sebagai salah satu hobby Aboe Oemar. Jadi ia bertani di Daerah Pertanian pribadinya di Cibogel kota Batu, sementara ke daerah pertaniannya di Tenjo jarang dilakukan, karena selama pendudukan Pemerintah Militer Jepang semua kendaraan mobil dan motor milik rakyat disita, jadi tak ada lagi kendaraan mobil ke daerah Tenjo.
6. Masa Perjuangan Kemerdekaan Tahun 1945-1948
Dalam kegiatan kesehariannya Aboe Oemar selalu menggunakan kain sarung putih. Pemerintahan militer Jepang marah besar terhadap keteguhan hati Aboe Oemar dan merencanakan menangkap dan membunuhnya, peristiwa ini terjadi sekitar bulan Juli 1945. Sebelum pemerintah Jepang melaksanakan maksudnya untuk membunuh Aboe Oemar, namun pada tanggal 6 dan 7 Agustus 1945 Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya menjatuhkan bom Atom di Nagasaki dan Hiroshima, dimana dikabarkan sekitar 450 ribu penduduk Jepang di kedua kota itu tewas seketika, dan menyerahlah pemerintahan militer Jepang yang saat itu di pimpin oleh Admiral Toyo. Setelah pemerintahan militer Jepang menyerah dan Admiral Toyo ditangkap dan dihukum mati selaku penjahat perang oleh tentara pendudukan Amerika di Tokyo ibu kota negara matahari terbit itu.
Setelah pemerintahan militer Jepang menyerah seketika itu juga Aboe Oemar dengan bantuan pemuda – pemuda eks Peta (Pembela Tanah Air) dan Heiho (pasukan calon penerbang) kedua - duanya pasukan rekaan pemerintahan militer Jepang, mengambil alih kekuasaan di Bogor. Istana Bogor diduduki dan agar istana tidak mudah diduduki pasukan Inggris yang dibantu pasukan Gurka, sumber air baik air ledeng dan air sungai sekeliling istana Bogor oleh Aboe Oemar dihentikan. Saat itu bulan September tahun 1945 dan Aboe Oemar sedang menderita sakit dan hampir tiap hari dokter militer Jepang datang kerumah Aboe Oemar di Jalan Bioskop no 5 (sekarang diubah jadi jalan Kapten Oking dan terackhir rumah itu jadi Pabrik Roti Law). Semenjak saat itu dalam kesehariannya rumah jl Bioskop no 5 menjadi markas Aboe Oemar selaku pimpinan BKR. Dari saat itu penulis masih teringat saat Husein Sastera Negara selaku anggota pasukan BKR (Badan Keamanan Rakyat) di bulan September 1945 datang ke rumah Aboe Oemar di jalan Bioskop nomor lima, sambil membawa senjata mitralieur merk Lewis (yang tabung pelurunya semacam piring yang bila ditembakkan piring itu langsung berputar).
Waktu itu Husein Satra Negara ingin menghadap Aboe Oemar melaporkan perkembangan keadaan di sekitar Bogor, yang saat itu juga rakyat terutama pemuda - pemuda sudah mempersenjatai dirinya dengan selalu membawa golok parang.
Tentara pendudukan Inggris dan Gurka. Pasukan Gurka adalah pasukan pembantu pasukan Inggris dari warga India dan Pakistan sebagai pasukan lokal yang membantu Inggris dalam Perang Dunia ke dua dan beberapa tahun sesudahnya. Momen saat tentara Inggris dan pasukan Gurkanya memasuki Indonesia, peluang ini dimanfaatkan Belanda untuk kembali menduduki atau menjajah kembali Indonesia, dimana tentara NICA (Nederland Indie For Civil Adaministration) ikut masuk membonceng masuk kembali di Indonesia.
Saat Aboe Oemar sedang tergeletak sakit di kamar tidurnya di kamar bagian depan, datanglah satu peleton pasukan Inggris dan Gurka dari Istana Bogor yang sudah mereka duduki setelah pertempuran sehari semalam atas perlawanan pasukan BKR.
Saat Inggris dan Gurka akan menduduki istana Bogor, terjadi pertempuran dengan BKR dari sore hari hingga keesokan harinya. Setelah pasukan Inggris yang dibantu pasukan Gurka menduduki istana Bogor, karena sama sekali tak menemukan setetes air pun, hal ini mengharuskan mereka mengirimkan satu pleton pasukan ke rumah Aboe Oemar.
Aboe Oemar menerima utusan Pasukan Inggris dan Gurka sambil tergeletak sakit di tempat tidur di dampingi seorang guru AMS pengajar bahasa Inggris bernama Sudewo selaku penterjemah. Karena kekuatan Inggris dan Gurka lebih kuat dari pada BKR terpaksa Aboe Oemar mengalirkan kembali air ke Istana Bogor. Setelah itu Aboe Oemar selalu dikejar-kejar dan dicari–cari dan diintai oleh Pasukan Inggris dan Gurka. Aboe Oemar memindahkan keluarganya ke Cibogel, karena dikejar dan diintai terus oleh Inggris dan Gurka. Aboe Oemar lalu bersama Siti Insiyah Imam Chourmain puterinya yang pertama bersama pengawal-pengawal lain dari Jalan Bioskop No.5 Bogor, pindah ke desa Cibogel, dan selanjutnya pindah lagi ke kota Maseng semua dilakukan dengan jalan kaki. Maseng adalah ibu kota kecamatan yang terletak di salah satu lokasi di jalur jalan kereta api mengarah ke kota Sukabumi, namun masih dalam wilayah kota Bogor dekat desa Batu Tulis.
Dari markasnya di Bogor, ke kota kecil Maseng kota kecil sekitar Batu Tulis yang merupakan stasiun kecil ke arah Sukabumi. Kemudian karena masih dikejar-kejar oleh Inggris dan Gurka lalu Aboe Oemar pindah ke kota Sukabumi ke rumah ibu Enden seraya membawa keluarganya juga. Saat bersembunyi di jalan Kiray Sukabumi, saat Aboe Oemar yang akan keluar rumah mengintip dari tembok pagar rumah, seketika seorang snipper pasukan Inggris yang sudah mengintai di Jalan Raya di muara Jalan Kiray. Snipper Inggris yang sudah mengintai, menembakkan pelurunya yang mendesing di depan kacamata yang dipakai Aboe Oemar, dan Aboe Oemar menghindar dari rumah melalui jalan belakang yang tak diketahui Inggris dan Gurka.
Karena terus menerus diintai bahkan dengan pesawat udara pengintai yang telah digunakan saat Perang Dunia ke II melawan Jepang. Alasan Inggris dan sekutunya pada mulanya akan melucuti senjata Jepang. Tetapi bentrok dengan BKR yang juga akan mengejar/melucuti senjata pasukan Jepang yang sudah menyerah kepada Sekutu. Sehingga terjadi bentrok antara pasukan Inggris dan BKR yang sama–sama mempunyai tujuan melucuti Jepang. Dari pihak BKR dan pihak Inggris seolah–olah mempunyai tujuan yang sama yakni melucuti pasukan Jepang yang sudah menyerah.
Karena bagi pihak BKR untuk mempersenjatai dirinya bertujuan mengusir penjajahan melawan pasukan Asing yang di boncengi pasukan NICA untuk menjajah kembali Indonesia.
Sementara pasukan Inggris dibantu pasukan Gurka yang menjadi tentara yang direkrut untuk menjajah kembali wilayah bekas jajahannya India, Burma, Malasia dan wilayah–wilayah bekas jajahan sekutunya Perancis (Vietnam, Laos, Kambudja), maka secara tidak langsung terjadi perlawanan dan pertempuran melawan BKR yang tak sudi melihat kembalinya pasukan penjajahan ke Indonesia. Datangnya pasukan Inggris dan sekutunya yang diboncengi pasukan Belanda dengan kedok NICA itu menimbulkan perlawanan dan pertempuran dengan pihak Indonesia di beberapa lokasi sekitar Bogor.
Jadi pasukan Inggris dibantu pasukan Gurka ikut juga mencari dan mengejar Aboe Oemar selaku pimpinan BKR, sehingga terjadi jugalah bentrokan bahkan pertempuran antara mereka dengan pasukan BKR. Sementara Aboe Oemar terpaksa berpindah–pindah menghindari pengintaian dan penangkapan pasukan Inggris dan Gurka, akhirnya Aboe Oemar dengan keluarganya dengan mobil buatan Amerika dengan merk 'Buick' dari Sukabumi berikut keluarganya menuju ke kota Cikampek. Sebelum tiba di Cikampek mobil yang mengangkut Aboe Oemar dan keluarganya mogok di suatu tanjakan dan terpaksa berhenti. Melalui bantuan montir, mobil yang mogok itu ditinggalkan dan Aboe Oemar melanjutkan perjalanan dengan mobil lain milik Jawatan Kehutanan.
Selanjutnya untuk menghindari pengejaran Inggris dan Gurka serta intaian pasukan Inggris yang bahkan melakukan pengintaian dari udara, Aboe Oemar memutuskan mengungsikan keluarganya termasuk penulis, berangkat dengan kereta api malam dari Cikampek menuju Jogjakarta langsung ke Madiun dan menginap di rumah saudaranya, Sukarno yang bersuamikan Suntariyati selaku adik kandung Aboe Oemar yang saat itu bertempat tinggal di jalan Bareng Kartini kota Madiun.
Dari kota Madiun dengan menggunakan dua mobil Jawatan Kehutanan Aboe Oemar membawa keluarganya ke kota Blora. Sementara Aboe Oemar sendiri kembali ke Bogor, untuk melanjutkan perjuangan dan mengamankan kepindahan Soekarno-Hatta dan Ibu Kota Pemerintahan Republik Indonesia dari Jakarta, selaku awal Ibu Kota Republik ke kota perjuangan Jogyakarta dan tinggalah Aboe Oemar di Jogyakarta sambil memantau kelanjutan perjuangan di wilayah Bogor, Sukabumi dan Cianjur, sekaligus menjadikan sebagai wilayah penyangga perjuangan melawan Pusat Pendudukan Kekuasaan Inggris dan Belanda di Jakarta.
Sementara meneruskan perjuangan kemerdekaan di Jogyakarta, selaku pengikut Islam yang taat Aboe Oemar mengikuti kongres Partai Masyumi di Jombang awal tahun 1947. Saat itu Nahdatul Ulama masih bagian dari Masyumi, jadi masih menjadi satu bagian dari Partai Masyumi. Di Jombang Aboe Oemar sempat mendirikan Serikat Tani Islam Indonesia (STII) yang ditunjuk oleh kongres selaku ketuanya. Dari Jombanglah Kongres Partai Masyumi menugaskan Aboe Oemar untuk ikut selaku mewakili partai Masyumi duduk di Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP. KNIP) semacam parlemen/ MPR sementara, selama RI masih sibuk bertempur melawan Belanda. Dengan surat keputusan Presiden Soekarno keluarlah surat keputusan pengangkatan Aboe Oemar selaku anggota BP. KNIP dan aktiflah Aboe Oemar di Jogyakarta bersama ketua BP. KNIP yang awal mulanya diketuai oleh Mr. Assaat.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dibuat oleh Soekarno-Hatta dan diumumkan keseluruh dunia kemudian muncullah Sutan Syahrir. Karena alasan taktis agar Soekarno-Hatta tidak dituduh oleh Amerika dan Sekutunya selaku pemerintahan boneka Jepang, maka ditugaskanlah Sutan Syahrir menjadi Perdana Menteri Indonesia Pertama yang membentuk kabinetnya lengkap dengan Menteri Luar Negerinya Haji Agus Salim. Syahrir yang selalu menempuh kebijakan beruding dengan Belanda ditentang oleh Tan Malaka dan pengikutnya, dengan semboyan perjuangan 'Merdeka atau Mati'.
Mereka berkumpul di Purwokerto dan membentuk 'Persatuan Perjuangan'. Dengan peran Jendral Mayor Soedarsono yang menghadap Soekarno untuk membantu 'Persatuan Perjuangan' namun kemudian Soekarno yang lebih memihak kepada Sutan Syahrir menolak. Tanggal 3 Juli 1946 Pengikut Tan Malaka berikut Abdul Kahar Imam Chourmain menculik Sutan Sahrir. Saat menculik Sutan Syahrir dan beberapa anggota Kabinetnya, atas kewibawaan Sukarno-Hatta, penculikan Syahrir yang dilakukan oleh pihak Persatuan Perjuangan di lepaskan kembali. Tenyata kemudian Sutan Syahrir yang selalu dibantu oleh Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia) melakukan pembalasan dengan menangkap penculik–penculiknya dan dipenjarakan di penjara Ponorogo Jawa Timur di wilayah yang berbatasan dengan Jawa Tengah bagian selatan. Termasuk orang–orang yang ditawan Pesindo adalah Abdul Kahar Imam Chourmain, beberapa bulan di penjara Ponorogo.
Sementara genjatan senjata dengan Belanda, berdasarkan perjajian Renville berlangsung, Muso yang selama itu dalam persembunyiannya dengan bermukim di Rusia (Moskow) bersama Alimin dan anggota-anggota PKI lainnya yang menjadi pendukung–pendukungnya, kembali ke Indonesia dan langsung bermukim di Madiun yang menjadi pusat partai komunis Indonesia. Saat itu Muso yang lama berlindung di Moskow setelah tiba kembali ke Indonesia dan berdiam di Madiun marah–marah dan menolak genjatan senjata dengan Belanda berdasarkan perjanjian Renville. Muso juga menganggap perjanjian Reville itu sebagai komplotan Amerika, Inggris dan Belanda untuk meneruskan kapitalisme dan imperialisme di Indonesia.
Terbujuk oleh pandangan Muso akhirnya PKI yang berpusat di Madiun melakukan kudeta terang–terangan terhadap pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta di bawah pimpinan Soekarno–Hatta. Awal September tahun 1948 Timbulah Pemberontakan PKI Madiun dan semua orang dan kelompok–kelompok Masyumi dan PSI ditangkapi termasuk Aboe Oemar Imam Chourmain. Penangkapan Aboe Oemar terjadi di wilayah Grobogan/Purwodadi saat ia masih menjadi Sinder Kehutanan di daerah itu.
Dengan menduduki wilayah kabupaten Madiun, Ponorogo, Magetan, Blora, Rembang, Kudus dan Pati sebagai daerah yang memberontak terhadap pemerintahan RI yang dipimpin oleh Soekarno-Hatta. Saat Soekarno-Hatta yang didukung pasukan Rangga-Lawe dan Pasukan Siliwangi yang sedang 'hijrah' ke Jawa Tengah dan Jawa Timur dalam rangka memenuhi perjanjian Renville yang mengharuskan Pasukan Siliwangi meninggalkan kantong wilayahnya di Jawa Barat, ternyata menjadi suatu 'a blessing in disguise'. Saat PKI Musso melakukan pemberontakaan di Madiun dan daerah-daerah sekitarnya termasuk Blora, Rembang, Cepu, Kudus dan Pati, maka pasukan Siliwangi yang tetap setia pada Soekarno – Hatta secara serta merta ikut membasmi pemberontakan PKI yang terkenal dengan Pemberontakan PKI Madiun, terkenallah pidato radio Soekarno saat menghadapi pemberontakan PKI Madiun yang berbunyi :
"Hai Rakyat Indonesia Pilihlah Soekarno-Hatta atau PKI Muso!"
7. Tertangkapnya Aboe Oemar oleh Pemberontak PKI Madiun
Saat pemberontakan PKI Madiun, Aboe Oemar yang menjadi anggota BP. KNIP mewakili partai Masyumi dan wilayah karesidenan Blora - Rembang, merasa ikut bertanggung jawab terhadap nasib rakyat yang wilayahnya dikuasai PKI. Segera ia langsung memasuki wilayah Grobogan/Purwodadi di mana saat menjadi sinder kehutanan mempunyai anak buah dan dianggap akan membantu perjalanan Aboe Oemar ke daerah itu. Ternyata mereka sebahagian besar sudah menjadi anggota pengikut dan memihak pemberontak PKI Madiun. Saat itulah Aboe Oemar ditangkap PKI dan setelah di bawa dengan kereta api ke Blora ditahan sehari di Markas tentara yang dikuasai PKI di Blora.
Ternyata bukan hanya Aboe Oemar yang ditangkap tetapi juga ada sejumlah orang lain ialah (1) Sudjono, Bupati Blora saat itu; (2) Kepala Cabang Bank BNI Blora, (3) Camat di wilayah Pati; (4) dan seorang insinyur bernama Sofwan yang bertugas di Kabupaten Grobogan juga ditangkap oleh pemberotak PKI Madiun yang berkuasa di daerah karesidenan Blora–Rembang.
Setelah di tahan beberapa lama, bahkan kami anak–anak Aboe Oemar sempat melihat Aboe Oemar bersama tawanan lainnya di halaman parkir Tangsi Polisi Blora, dengan memakai baju 'tuikim' warna hijau lewat sambil berjalan kaki di muka rumah saat kami bermain di muka rumah, berjalan selaku tawanan menuju rumah penjara Blora yang memang tak jauh dari rumah Jalan Pandji No.5 Blora. Saat Aboe Oemar berjalan kaki melewati rumah kami, agaknya Siti Insiyah Imam Chourmain melihatnya dari pendapa (halaman besar di rumah bagian depan) dan berteriak –teriak:”Papi–papi!”
Setelah kelima orang tersebut di tahan di penjara tiga hari kemudian yakni tanggal 10 September 1948 kelima orang tawanan itu dibunuh PKI dengan menggunakan orang desa selaku 'algodjo' nya yang tinggal di desa Pohrendeng di tepi jalan kereta api arah ke Purwodadi. Saat membawa tahanan dari penjara pemberontak – pemberontak PKI menggunakan truk terbuka saat itu karena ketiadaan truk, terpaksa mobil–mobil sedan dibelah bagian belakanganya sebagai bak yang dapat berfungi sebagai bak terbuka sebuah truk. Kepada algojo pembunuh ini Pemberontak PKI di Blora memberi hadiah barang-barang radio dan barang pabrikan yang asing bagi orang–orang di kampung Pohrendeng.
Saat pembunuhan terhadap tawanan yang lima orang itu, dilakukan secara sembunyi–sembunyi pada sekitar jam 09.00 malam, dan kepada rakyat Pohrendeng dilarang keluar rumah dengan alasan akan datang penyerbuan oleh tentara Belanda. Akibatnya pada saat jam 09.00 malam itu desa Pohrendeng nampak sepi senyap, pada hal saat itu sedang terjadi pembunuhan–pembunuhan terhadap kelima orang tahanan tersebut. Sementara saat itu juga rakyat Pohrendeng terheran–heran mengapa katanya akan ada serangan Belanda namun tak terjadi perlawanan oleh TKR. Juga rakyat terheran–heran, mengapa tiba-tiba ada seorang penduduk yang memiliki barang-barang yang saat itu tidak mampu dibeli, namun sudah ada yang menjadi milik tetangganya.
Saat bulan September tanggal 12 September 1948 tentara Siliwangi dari kota kecamatan Randu Blatung di Selatan kota Blora, masuk ke kota Blora, saat itu hari Raya Idul Fitri, terbebaslah rakyat Blora dari Pemberontak PKI Madiun, dan ujung depan pasukan Siliwangi menemui pengungsi, termasuk kami keluarga Aboe Oemar di sungai kering di kampung Kunden. Sebagian pasukan Siliwangi bersama beberapa pengungsi termasuk kami pulang kembali ke rumah Jalan Pandji No.5 dan rumah itu dijadikan 'markas' TNI/Siliwangi sementara untuk beberapa lama.
Khususnya Ibu Siti Rukiyah yang memang orang Sunda dan lancar berbahasa Sunda menyapa pasukan Siliwangi yang rata–rata berbahasa Sunda juga. Setelah dua minggu pasukan Siliwangi yang saat itu dipimpin oleh Kolonel Ardiwinata yang numpang menginap di rumah dokter Aminudin yang rumahnya bersebelahan dengan rumah kami menduduki rumah Jalan Pandji No. 5, keluarlah keputusan Kabinet Hatta yang berbunyi:
”Siapapun orang yang membakar bangunan rumah permerintah atau rumah umumnya, dan siapapun yang membunuh orang harus ditembak mati”.
Melaksanakan perintah ini Komandan Pasukan Siliwangi di Blora tiap hari Selasa dan Kamis melaksanakan penembakan hingga mati terhadap tawanan–tawanan yang menjadi tawanan yang memberotak sebagai pengikut–pengikut PKI yang sesuai dengan kemauan Muso. Semua pejabat PKI di Blora yang menduduki jabatan, mulai dari Suwiji ketua PKI Blora bekas Ketua Pramuka, Taliban (menduduki jabatan patih Blora) dan lain–lain termasuk yang membunuh Aboe Oemar berikut empat orang dan lain-lainnya ditembak mati. Mula–mula sekali yang ditembak mati pembunuh Aboe Oemar berikut Bupati Blora dan empat orang lainnya. Pembunuh Aboe Oemar yang sebelumnya diikat dihalaman kabupaten Blora yang penuh dengan semut kerangkang.
Sementara mayat–mayat Aboe Oemar sedang digali kembali dari Sumur di Pohrendeng, atas perintah Siliwangi dilakukan oleh tawanan–tawanan Pemberontak PKI yang jumlahnya memang banyak. Sore harinya pembunuh Aboe Oemar segera dibawa ke belakang tangsi Polisi untuk ditembak mati disaksikan oleh sejumlah orang yang dibolehkan oleh ketentuan Komanda Pasukan Siliwangi saat itu.
Setiap hari selama dua bulan yakni tiap hari Selasa dan Kamis terhadap pejabat dan petugas PKI yang membunuh atau membakar rumah dilaksanakanlah Perintah Perdana Menteri Mohammad Hatta. Hukuman ini secara terbuka dapat ditonton oleh publik dan anak–anak sekolah yang ikut menyaksikan penembakan ini. Seorang provokator yang selalu mencla-mencle dan selalu memihak penguasa yang berkuasa bernama Supiyo yang selalu dengan mengendarai dokar berteriak–teriak mengumumkan pihak yang berkuasa di kota. Atas desakan rakyat banyak, akhirnya Supiyo bersama-sama tokoh PKI lainnya ditembak mati di tengah–tengah alun–alun Blora di bawah pohon beringin yang tumbuh di tengah-tengahnya. Saat dibawa ke tengah alun-alun dari rumah kantor Bupati selaku tempat tahanan sementara, Supiyo dimuka publik menangis–nangis mengapa ia harus ditembak mati.
Sementara pembunuhan terhadap Aboe Oemar dan empat orang lainnya sudah diketahui oleh Pasukan Siliwangi dan digali kembali oleh tawanan–tawanan yang memberontak, jenazah Aboe Oemar berikut empat orang lainnya diangkut dengan gerbong kereta api dari Desa Pohrendeng (sumur tempat pembunuhan terhadap Aboe Oemar dan empat orang lainnya) tepat di tepi jalan kereta api antara Blora dan Purwodadi. Sore hari itu juga setelah lima jenazah itu ditempatkan di ruang Sekolah Dasar tempat penempatan jenazah sementara, dan kami melihat jenazah dari jendela yang menghadap ke jalan raya. Setelah dikafankan kemudian kelima jenazah itu diangkut dengan gerobak sapi setelah sebelumnya dimuat dalam gerbong kereta api dari stasiun Blora dibawa dari rumah sakit tempat penempatan sementara jenazah–jenazah. Menjelang magrib semua jenazah diangkut dengan gerobak dari ruang kelas sebagai penempatan sementara jenazah, selanjutnya dengan gerobak dibawa ke Taman Pahlawan Blora dan dimakamkan disana. Dalam semua episode ini penulis ikut mengikutinya.
Setelah pengakuan kedaulatan oleh Belanda terhadap Republik Indonesia ditanda-tangani di Den Haag, pihak Republik Indonesia diwakili oleh Perdana Menteri Mohamad Hatta. Sedangkan di Indonesia diwakili oleh Sultan Hamengku Buwono IX dan Pihak Belanda diwakili Mr. Loufink. Tahun 1950 atas prakarsa Siti Insiyah Imam Chourmain, dengan dibantu oleh Abu Amar Imam Chourmain, makam Aboe Oemar Imam Chourmain dipindahkan dari Makam Taman Pahlawan Blora dipindahkan ke pemakaman keluarga Imam Chourmain di pemakaman Banjar Sari atau biasa disebut Makam Tegalan dengan dibantu secara teknis oleh Baron Abdul Hamid Jaka Sarwana Imam Chourmain.
Sementara itu selama dua bulan ialah bulan September dan Oktober tahun 1948 hukuman tembak mati terhadap tawanan yang mengikuti berpihak pemberontakan PKI dilanjutkan. Sementara itu juga Muso selaku pimpinan pemberontak yang menyamar selaku penumpang dokar saat akan melarikan diri ke arah Ponorogo, ketahuan dan dikenal rakyat dan dilaporkan ke pasukan Siliwangi. Karena dengan mengedarai dokar Muso masih tetap akan melarikan diri, terpaksa oleh pasukan Silihwangi ditembak mati di atas dokar dan mayatnya dibuang ke salah satu jurang di wilayah itu.
Pada bulan Oktober Tahun 1948 terbunuhnya Aboe Oemar diketahui oleh BP-KNIP Jogyakarta dan segera menyatakan turut berduka citanya dengan memuatnya dalam berita duka dengan menyatakan Aboe Oemar telah gugur sebagai 'Pahlawan Suchada', sehingga masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya mengetahui ihwal gugurnya Aboe Oemar.
Sebagai penghormatan atas jasa–jasanya bagi Nusa dan Bangsa kota Blora mengganti nama Jalan Panji menjadi Jalan Aboe Oemar, begitu juga beberapa nama jalan di kota Blora.
Baca berita selengkapnya di....
https://www.bloranews.com/keluarga-pahlawan-abu-umar-imam-chourmain-nyadran-ke-blora-bahas-sejarah-dan-masa-depan/
https://www.blorakab.go.id/index.php/public/berita/detail/6819/jelang-ramadan--keluarga-pahlawan-abu-umar-imam-chourmain-nyadran-ke-blora